Selasa, 26 April 2011

ACFTA

ANALISIS EKONOMI, Kompas, Senin 11 April 2011

ASEAN-China FTA: Pemerintah Abai?

FAISAL BASRI

Ekspor nonmigas Indonesia ke China meningkat tajam dari 8,9 miliar dollar AS pada 2009 menjadi 14,1 miliar dollar AS pada 2010. Hal itu berarti, setahun pelaksanaan Perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Agreement/ACFTA), kita membukukan pertumbuhan ekspor nonmigas ke China dengan cukup menakjubkan, 58,4 persen.

Tahun 2010 itu juga China menjadi tujuan ekspor terbesar kedua bagi Indonesia, menggeser posisi Amerika Serikat yang sekarang di urutan ketiga.

Sementara itu, impor nonmigas Indonesia dari China juga meningkat pesat, dari 13,5 miliar dollar AS tahun 2009 menjadi 19,7 miliar dollar AS pada 2010 dengan laju pertumbuhan sebesar 45,9 persen. China telah cukup lama menjadi asal impor terbesar bagi Indonesia, jauh sebelum penerapan fase kedua ACFTA tahun 2010 ketika diberlakukan penurunan dan penghapusan tarif bea masuk atas barang-barang yang termaktub di dalam senarai Normal Track 1 (NT1).

Fase pertama adalah ketika mulai berlaku Early Harvest Program tahun 2006 saat sejumlah barang sudah diperdagangkan praktis tanpa hambatan bea masuk.

Yang kerap dipersoalkan adalah defisit perdagangan Indonesia dengan China, mengingat neraca perdagangan kita dengan China hingga tahun 2007 selalu surplus. Juga kenyataan bahwa defisit perdagangan nonmigas kita dengan China naik setelah pemberlakuan ACFTA, yakni dari 4,6 miliar dollar AS tahun 2009 menjadi 5,6 miliar dollar AS. Namun, bukankah defisit ini sudah berlangsung sejak tahun 2008. Bahkan, kala itu defisit kita jauh lebih besar, yaitu 7,1 miliar dollar AS.

Jika kita bandingkan dengan tarif bea masuk dalam kerangka most favored nations (MFN), tarif bea masuk barang-barang dari China hingga tahun 2006 praktis sama, pada kisaran 9,5 persen hingga 9,9 persen. Lalu sedikit lebih rendah (sekitar 1 persen) tahun 2007 dan 2008. Baru sejak tahun 2009 selisihnya naik tajam menjadi sekitar 4 persen. Namun, rata-rata bea masuk barang-barang dari China masih lebih tinggi dibandingkan dengan bea masuk atas barang-barang dari Korea dan dari ASEAN dalam kerangka CEPT.

Bandingkan pula rata-rata bea masuk sebelum ACFTA (2009) sebesar 3,8 persen dengan setelah ACFTA (2010) sebesar 2,9 persen. Selisihnya sangat kecil. Dengan demikian, ternyata tanpa ACFTA sekalipun, barang-barang dari China sudah sangat leluasa masuk ke pasar Indonesia.

Sebetulnya barang-barang dari negara mana pun kian leluasa memasuki pasar Indonesia. Itu karena pascareformasi, bea masuk rata-rata atas barang impor di bawah skema MFN terus turun hingga hanya 7,5 persen saat ini. Dengan demikian, bisa dikatakan liberalisasi perdagangan secara umumlah yang menjadi pemicu kinerja perdagangan luar negeri kita secara keseluruhan dan khususnya juga kinerja perdagangan Indonesia-China.

Kerja sama regional yang kian erat telah mengubah struktur perdagangan luar negeri kita. Porsi ekspor kita ke negara-negara Asia naik pesat, terutama ASEAN, Korea Selatan, dan China. Sebaliknya, porsi ekspor ke Eropa dan Amerika Serikat menunjukkan penurunan. Jadi, kerja sama regional nyata-nyata telah meningkatkan intensitas perdagangan regional.

Sudah barang tentu ada persoalan yang sejak dini seharusnya telah diantisipasi. Yang paling krusial ialah dampak trade creation, yakni peningkatan volume perdagangan sebagai akibat dari pengalihan perdagangan dari sumber biaya tinggi ke sumber biaya rendah akibat perjanjian perdagangan bebas. Barang-barang produksi dalam negeri tergeser oleh barang-barang impor dari negara-negara tetangga karena penghapusan bea masuk.

Sangat ironis kalau barang-barang yang terdesak di pasar domestik kita sendiri adalah hasil produksi dari kegiatan atau industri yang sejatinya kita punya potensi keunggulan komparatif, seperti mebel kayu dan rotan, hasil perikanan, pertanian dan hortikultura, hutan, industri makanan dan minuman, serta beberapa jenis tekstil dan pakaian jadi.

Bagaimana mungkin produk-produk kita tersebut bisa bersaing kalau praktik-praktik ekonomi biaya tinggi masih menghantui dunia usaha kita. Bagaimana mungkin produk dari Sumatera Barat, misalnya, bisa bersaing di Jakarta dengan produk serupa dari luar negeri kalau ongkos angkut dari Padang ke Jakarta mencapai 600 dollar AS per kontainer, sedangkan dari Singapura ke Jakarta hanya 185 dollar AS per kontainer.

Bagaimana mungkin jeruk pontianak bisa bersaing dengan jeruk dari China kalau ongkos angkut jeruk dari China ke Jakarta lebih murah daripada ongkos angkut jeruk dari Pontianak ke Jakarta.

Bukankah merupakan tindakan yang gegabah kalau pemerintah agresif mengintegrasikan perekonomian Indonesia dengan perekonomian global dan regional seraya tak banyak berbuat untuk mengintegrasikan perekonomian nasional.

Kita telah mengikatkan diri dengan berbagai perjanjian perdagangan bebas dan liberalisasi di berbagai bidang, tetapi berbagai langkah untuk mengintegrasikan perekonomian nasional baru pada tahapan ”akan” atau baru sebatas rencana yang entah kapan perwujudan nyatanya.

Kita kian terseok-seok karena berbagai penguatan yang seharusnya sudah terhadirkan justru melemah. Sebagai contoh, membanjirnya ikan-ikan impor, terutama dari China. Bukan karena ACFTA, melainkan karena praktik impor ilegal. Ditambah lagi dengan penerapan Standar Nasional Indonesia yang amat lamban sehingga mempercepat keterpurukan industri dalam negeri.

Pemerintah sangat agresif meliberalisasikan pasar dan perekonomian, tetapi abai membangun jaring-jaring pengaman pasar. Rakyat dibiarkan berjibaku, mencari selamat sendiri-sendiri. Pemerintah hanya peduli menandatangani pakta perdagangan bebas, tetapi tak pernah berinisiatif mengagendakan pakta sosial. Namun, kita bisa paham, Sistem Jaminan Sosial Nasional saja tak kunjung hadir, apatah lagi pakta sosial.

Jadi, tanpa ACFTA sekalipun, pasar kita bakal jadi santapan produk impor. Pemerintah nyata-nyata telah abai melindungi usaha domestik dan memperkokoh fondasi perekonomian nasional. ACFTA cuma jadi tumbal.

Faisal Basri Pengamat Ekonomi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar