Selasa, 26 April 2011

BRICS, E-7, dan Indonesia

Mirza Adityaswara

Pada 14 April lalu di kota Sanya, China, diselenggarakan konferensi lima negara: China, Rusia, India, Brasil, dan Afrika Selatan.

Kelima negara berkembang ini biasa disebut dengan istilah BRICS

(Brazil, Russia, India, China, dan South Africa). Huruf ”S” baru tahun ini ditambahkan pada akronim BRIC. Konferensi negara BRIC sudah dilaksanakan tiga kali. Konferensi pertama Juni 2009 di Rusia dan kedua April 2010 di Brasil.

Istilah BRIC pertama kali diperkenalkan 2001 oleh Jim O’Neill, ekonom perusahaan keuangan global Goldman Sachs. BRIC mempunyai ciri-ciri negara dengan jumlah penduduk besar, tanah yang luas, dan pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata. Saat ini empat negara BRIC memiliki luas lebih dari seperempat luas tanah di dunia, 40 persen jumlah penduduk dunia, dan sekitar 18 persen dari ekonomi dunia.

Afsel dalam segi ukuran luas wilayah dan jumlah penduduk yang hanya sekitar 50 juta orang sebenarnya tak masuk dalam kategori BRIC. Dimasukkannya Afsel adalah atas undangan China yang mungkin beranggapan secara politik penting memasukkan negara termaju di Benua Afrika agar ide dan pemikiran konferensi BRICS dapat diterima oleh seluruh negara berkembang dan dunia internasional. China saat ini aktif membangun kerja sama politik, ekonomi, dan investasi di Benua Afrika sebagai wilayah yang menjanjikan untuk jadi pemasok energi, bahan tambang, dan bahan pangan masa depan.

Diperkirakan pada 2035 besarnya gabungan ekonomi BRIC akan mengalahkan gabungan ekonomi negara maju G-7 (Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Perancis, Inggris, Kanada, Italia). Dengan melihat potensi kapasitas ekonomi negara BRICS di masa depan, menjadi penting kita memerhatikan perkembangan forum BRICS, apakah ini akan menjadi forum bergengsi yang menentukan arah percaturan kerja sama ekonomi dan politik internasional ke depan.

Mengapa Indonesia tidak masuk dalam konferensi BRICS? Kita tak perlu risau karena keanggotaan forum BRICS tampaknya bukanlah suatu yang statis sehingga bisa saja negara berkembang dengan potensi pertumbuhan ekonomi tinggi seperti Turki, Indonesia, ataupun Nigeria akan diundang masuk menjadi anggota. Selain itu, Indonesia juga sudah masuk dalam forum bergengsi negara G-20 yang saat ini menjadi penentu arah governance ekonomi makro global dan sektor keuangan dunia.

Meskipun tidak masuk dalam BRICS, potensi ekonomi Indonesia diakui dunia internasional. Perusahaan konsultan Pricewaterhouse Coopers (PwC) tahun 2006 (The World in 2050) memprediksi ekonomi tujuh negara berkembang (E-7) pada 2050 akan 50 persen lebih besar daripada tujuh negara maju (G-7). E-7 meliputi BRIC ditambah Meksiko, Indonesia, dan Turki.

Goldman Sachs awal 2011 membuat istilah ”Growth Market” untuk menggambarkan delapan negara dengan pertumbuhan paling dinamis, meliputi BRIC plus Meksiko, Korsel, Indonesia, dan Turki. Jadi ada kesamaan antara sebutan negara E-7 dari PwC dan sebutan Growth Market dari Goldman Sachs. Ada pula istilah yang dipakai Economist Intelligence Unit tahun 2009 di mana Indonesia masuk di dalamnya, yaitu CIVETS (Colombia, Indonesia, Vietnam, Egypt, Turkey, South Africa) untuk menggambarkan enam negara berkembang dengan potensi pertumbuhan tinggi.

Budaya inovasi

Bagaimana cara kita mewujudkan prediksi itu jadi kenyataan? Berhubung sumber daya alam suatu saat akan habis, Indonesia masa depan haruslah jadi negara yang ditopang sumber daya manusia yang kuat di sektor pemerintah, swasta, wirausaha, parlemen, dan aparat hukum.

Di bidang infrastruktur lunak, peningkatan kualitas pendidikan dan sarana kesehatan adalah penting. Mengganti budaya materialisme dengan budaya prestasi dan inovasi sehingga sumber daya ekonomi digunakan secara produktif, tidak dikorupsi. Membangun budaya yang mengutamakan pencapaian prestasi, bukan kekayaan materialisme harus dibangun sejak dini.

Di bidang infrastruktur fisik yang harus dibangun adalah infrastruktur energi, pangan, dan jalur distribusi barang dan transportasi umum sehingga terhubung seluruh pelosok Tanah Air. Kenaikan harga barang tambang dan perkebunan telah meningkatkan ekonomi di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi sehingga diperlukan lembaga keuangan yang dapat menopang kegiatan perdagangan dan industri di wilayah luar Jawa. Harus diciptakan pusat-pusat pertumbuhan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara sehingga kegiatan ekonomi tak lagi terpusat dan membebani Jawa.

Untuk itu, dibutuhkan keterlibatan investor swasta (domestik dan asing) yang ditopang oleh industri perbankan serta pasar modal yang kuat, sehat, dan tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Kepercayaan investor asing di surat utang negara yang sudah mencapai Rp 200 triliun harus dijaga. Keuangan pemerintah dan neraca pembayaran harus terus dipertahankan sehat karena jika tidak akan membuat gejolak moneter yang mengganggu aliran kredit sektor perbankan dan pasar modal.

Dengan sistem desentralisasi seperti saat ini, tugas koordinasi dan eksekusi bukan hanya di pundak pemerintah pusat, melainkan juga pemerintah daerah. Di alam demokrasi, tugas perencanaan banyak melibatkan lembaga perwakilan rakyat di pusat dan daerah. Pembebasan lahan, konversi penggunaan lahan, izin dan anggaran pembangunan pelabuhan, pembangunan jalur kereta api, pembangkit tenaga listrik, jalur pipa gas, dan sebagainya melibatkan birokrasi pemerintah pusat dan daerah serta lembaga legislatif. Tantangan terbesar saat ini ada pada koordinasi dan komitmen pemerintah pusat, pemda, DPR, dan DPRD.

Mirza Adityaswara Ekonom, Analis Perbankan dan Pasar Modal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar