Selasa, 26 April 2011

Dilema Harga Minyak

Anggito Abimanyu

Pada tahun 2009, Meksiko mendapatkan rezeki nomplok (windfall) sebesar 8 miliar dollar AS dari kontrak lindung nilai (hedging) minyak yang dibelinya pada tahun 2008 sebagai perlindungan terhadap pelemahan permintaan energi dan harga minyak.

Pada pertengahan tahun 2008, harga minyak menurun dari 140 dollar AS ke 50 dollar AS per barrel sehingga bagi negara dengan status eksportir neto (net exporter), jatuhnya harga minyak tersebut—jika tidak diamankan—akan menyebabkan merosotnya pendapatan negara.

Meksiko melakukan perlindungan pendapatan negara terhadap kemerosotan harga minyak dengan strategi yang tepat dan dapat menghindarkan dari defisit APBN-nya. Dan langkah tersebut diakui sangat tepat dan bermanfaat.

Sebelumnya, tahun 2008, ketika harga minyak dunia meningkat tajam dari 70 dollar AS ke 140 dollar AS per barrel, berbagai cara dilakukan oleh negara-negara di dunia untuk mengatasi dampak negatif bagi perekonomian. Indonesia tidak terkecuali. Dua kali dilakukan kenaikan harga BBM dalam negeri dan disertai kompensasi kepada rumah tangga sasaran, seperti bantuan langsung tunai (BLT), beras miskin (raskin), jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas).

Meskipun dampaknya buruk bagi inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dengan strategi kompensasi memadai, Indonesia terbebas dari kehancuran fiskal dan kemiskinan yang berkelanjutan.

Pada tahun 2011, ketika harga minyak dunia mulai merangkak naik, negara-negara yang melakukan subsidi terhadap harga BBM dalam negeri, seperti China, India, Malaysia, Thailand, dan Afrika Selatan serta beberapa negara Timur Tengah, sudah merencanakan kenaikan harga BBM. Beberapa negara yang memiliki sumber daya energi telah juga menggunakan dana cadangan minyak untuk menambah subsidi BBM dengan tujuan melindungi daya beli.

Ada juga yang sudah membuat sistem penjatahan konsumsi BBM dengan target subsidi kepada pengguna tertentu. Sementara itu, beberapa negara yang memberlakukan penyesuaian harga BBM pada tingkat harga keekonomian secara otomatis telah mengurangi beban pajak atau cukai atas konsumen BBM.

Banyak juga negara maju khususnya sangat giat melakukan diversifikasi energi dari BBM ke sumber lain yang lebih murah dan ramah lingkungan, seperti gas dan elpiji. Saat ini Indonesia belum melakukan upaya signifikan untuk mengendalikan dampak kenaikan harga minyak dunia. Meskipun telah diberikan mandat untuk melakukan penghematan konsumsi dan penyesuaian harga BBM dalam keadaan kenaikan harga 10 persen di atas asumsi harga minyak di dalam APBN 2011, desain kebijakannya masih terus saja diperdebatkan.

Importir neto minyak

Dalam sepuluh tahun terakhir, fluktuasi naik turunnya harga minyak dunia adalah suatu fenomena yang lazim terjadi. Di samping karena masalah kebutuhan melampaui jumlah ketersediaan, faktor konflik Timur Tengah juga menjadi alasan hambatan pasokan atau menjadi sasaran spekulasi.

Namun, yang tak kalah pentingnya adalah terjadinya reorientasi para pelaku pasar modal yang mengalihkan investasi bursa keuangan ke bursa komoditas atau yang lazim disebut flight to commodity.

Situasi gejolak di pasar keuangan juga menjadi alasan yang kuat harga komoditas baik spot maupun future bergejolak dengan motivasi untuk mengambil keuntungan (profit taking) atau melindungi investor dari kerugian yang lebih besar di pasar keuangan. Maka, negara konsumen maupun penghasil sumber daya energi harus terus berputar otak dan menggunakan cara-cara untuk dapat melindungi gejolak perekonomiannya. Dan karena ada unsur ketidakpastian, bisa saja respons kebijakan yang dilakukan melenceng.

Akan tetapi, bagaimanapun, upaya harus tetap dilakukan karena jika tidak melakukan tindakan apa-apa, biaya ekonomi yang harus dibayar akan lebih mahal daripada melakukan sesuatu meskipun terdapat risiko kesalahan antisipasi.

Situasi perminyakan di Indonesia sudah terbalik dari sepuluh tahun yang lalu. Indonesia dikategorikan sebagai importir neto minyak sehingga yang menjadi risiko ekonomi dan fiskal adalah apabila harga minyak dunia naik akan merugikan perekonomian dan APBN. Sejak itu, setiap harga minyak naik selalu menjadi sandera bagi perekonomian Indonesia.

Berbagai upaya sudah dilakukan, seperti upaya peningkatan produksi minyak, konversi BBM dengan elpiji, penggunaan non-BBM sebagai bahan bakar pembangkit listrik, dan lain-lain. Namun, semua kebijakan tersebut belum cukup untuk menghindarkan Indonesia dari status importir neto minyak.

Strategi lindung nilai juga sempat mencuat beberapa tahun yang lalu, tetapi sistem penganggaran belum memungkinkan kita mengakomodasikan transaksi yang mengandung risiko kerugian tersebut dilakukan.

APBN kita saat ini masih rentan terhadap volatilitas harga komoditas, khususnya minyak. Indonesia melakukan impor minyak dalam jumlah yang signifikan untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri dan harga minyak tersebut disubsidi.

Pada batas tertentu, volatilitas harga minyak tersebut masih bisa ditanggung oleh APBN. Namun, ada keterbatasan kemampuan APBN untuk menanggung kenaikan harga minyak tersebut. Sementara, terdapat keterbatasan untuk dilakukan pass through selisih harga minyak kepada konsumen. Hal ini berisiko mengganggu kondisi APBN.

Dengan harga di atas 110 dollar AS per barrel akhir-akhir ini, hal itu tentu sudah mengganggu APBN. Meski pendapatan negara dari pajak dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) atas migas bertambah, tetapi subsidi energi, bagi hasil minyak, dan konsekuensinya pada anggaran pendidikan bertambah lebih banyak.

Akibatnya, setiap kenaikan rata-rata per tahun harga minyak 1 dollar AS, APBN tekor sekitar Rp 700 miliar. Jadi, jika harga minyak dunia mengalami kenaikan sepanjang tahun sebesar 10 dollar AS di atas rata-rata asumsi APBN, yakni 80 dollar AS per barrel, akan terjadi ketekoran Rp 7 triliun.

Ini belum termasuk apabila konsumsi BBM bersubsidi melebihi kuota serta dibatalkannya kebijakan pembebasan batas tarif (capping) listrik PLN serta penurunan produksi minyak kita.

Hasil Tim Kajian BBM

Pemerintah sendiri belum menentukan sikap. Tim Kajian Pengaturan BBM dari konsorsium peneliti tiga perguruan tinggi—Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Indonesia (UI)—sudah menyampaikan hasil dan rekomendasi dari ketiga opsi yang diajukan minggu lalu. Opsi yang direkomendasikan saat ini belum dapat dipublikasikan ke media sambil menunggu pembahasan dengan DPR.

Untuk diketahui, tim tidak hanya menyampaikan opsi, tetapi juga kemutakhiran metodologi, manfaat dan biaya dari opsi-opsi tersebut, serta urutan pelaksanaan kebijakan. Ada rekomendasi yang sifatnya segera (1-2 bulan) dan jangka menengah (6 bulan). Kalau rekomendasi tersebut dipertimbangkan, niscaya sebagian masalah subsidi BBM dapat dipecahkan.

Tim memberikan rekomendasi atas dasar berbagai macam pertimbangan, yakni ekonomi, politik, sosial, dan teknis perminyakan dan dengan diskusi pihak-pihak terkait dengan pelaksanaan dan pengawasan di pusat dan daerah secara mendalam, serta dengan pengumpulan data lapangan yang cukup akurat. Waktu yang diberikan untuk penelitian ini sebetulnya sangat tidak memadai, yakni hanya dua bulan efektif.

Pemerintah sejak awal sudah mengatakan tidak akan menaikkan harga BBM meskipun tetap menunggu pembahasan dengan DPR. ”Kami akan membahas dengan DPR terlebih dahulu mengenai opsi kebijakan pengaturan BBM bersubdi,” kata Menteri ESDM.

Tim tetap berpendapat kenaikan harga BBM untuk kendaraan pribadi dengan pengembalian subsidi (cashback) kepada angkutan umum, seperti pendapat Kepala BPS minggu lalu, adalah kebijakan yang masuk akal. Angkutan umum tetap perlu disubsidi karena mereka melakukan pelayanan masyarakat dan tarifnya diatur oleh pemerintah.

Tanpa penyesuaian harga untuk kendaraan pribadi, maka akan terjadi disparitas harga yang melebar, berakibat pada konsumsi yang membengkak dan migrasi dari konsumen pengguna pertamax ke premium. Pertimbangan-pertimbangan sosial, konflik, daya beli, risiko demonstrasi dan politik tetap menjadi bahan tim dalam memberikan rekomendasi.

Ide penghematan dan pengawasan konsumsi BBM bersubsidi bukan hal yang baru. Zaman pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I pernah dilontarkan gagasan penggunaan kartu pintar (smart card), klusterisasi, pengawasan distribusi, dan kampanye hemat BBM.

Waktu itu dirasa persiapannya sangat minim sehingga urung dilakukan. Menko Perekonomian Hatta Rajasa pada akhir tahun 2010 menyampaikan nada optimistis bahwa kebijakan penghematan konsumsi BBM ini akan mulai dilaksanakan 2011.

Asal tahu saja, jika tidak dilakukan kebijakan apa pun, maka alokasi BBM subsidi tahun ini sebanyak 38,5 juta kiloliter dan diperkirakan akan bertambah setidaknya 2 juta kiloliter. Tahun 2010 realisasi konsumsi BBM telah berada di atas perhitungan awal yang berarti menambah anggaran subsidi. Menteri Keuangan Agus Martowardojo buru-buru memberikan peringatan untuk tetap mempertahankan konsumsi 38,5 juta kiloliter.

Jika tidak, maka kenaikan anggaran subsidi BBM akan menambah defisit anggaran. Meskipun terdapat penghematan dari nilai tukar yang berada di bawah asumsi, tetap saja tidak mampu mengatasi pembengkakan defisit.

Maka, sebaiknya pemerintah mengambil tindakan untuk mengamankan perekonomian kita, tidak menambah defisit APBN, meskipun dengan kebijakan sesulit apa pun, demi keberlanjutan pembangunan di masa yang akan datang.

Ancaman inflasi memang nyata. BI dan BPS sudah memberikan peringatan akan dampak kebijakan pengaturan BBM pada inflasi di tahun 2011. Bagaimanapun kenaikan inflasi akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan menurunkan daya beli. Perhitungan tim menunjukkan bahwa dampak inflasi lebih kecil daripada manfaat fiskal dan perekonomian secara keseluruhan yang dihasilkan.

Memang terkesan hasil kajian mengenai pengaturan BBM begitu njelimet dan rumit. Pada waktunya akan dapat dipaparkan secara gamblang dan jelas duduk soalnya dari A sampai Z. Namun, setelah kajian dipaparkan, pada akhirnya terpulang pada pemerintah dan DPR sebagai otoritas pengambil keputusan.

Menurut tim kajian, persoalan BBM tahun 2011 lebih sederhana dibandingkan dengan persoalan serupa pada tahun 2008, tetapi kalau ragu dan terlambat mengantisipasi, dampaknya akan lebih besar dan berpotensi dapat merugikan perekonomian nasional.

Kita tidak pernah tahu sampai kapan dan seberapa serius masalah kenaikan harga minyak dunia dari krisis timur tengah. Apa pun yang terjadi dengan kenaikan harga minyak dan pasokan minyak dunia, kita harus mempersiapkan diri dengan kebijakan dan tindakan yang tepat, cepat dan pasti.

Anggito Abimanyu Dosen FEB-UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar