Selasa, 26 April 2011

Ekonomi yang Tercerabut

Kompas, Rabu, 15 Oktober 2008

1

B Herry Priyono

Fisika ekonomi sedang berantakan. Keberantakan itu begitu menggigit jantung tata keuangan modern. Maka, pendapat bahwa titik nadir sudah tercapai hingga jalan menuju pemulihan akan segera terjadi lebih berbunyi sebagai hiburan gratis.

Pada titik ini, deretan penjelasan tentang apa yang sedang dan akan terjadi tentu berguna, tetapi juga lebih mirip ramalan dukun yang mengada-ada. Itu tidak hanya berlaku hari ini sebab telah lama kajian ekonomi lebih mirip inflasi ramalan ketimbang analisis. Bahkan, hingga akhir September 2008, di koran ini masih terbaca beberapa pendapat bahwa apa yang terjadi hanya anomali sementara dari sistem keuangan yang sudah berjalan baik. Tentu saja, itu buih verbal.

Meski tidak ingin menambah gelembung, catatan kecil ini juga akan terdengar seperti buih verbal lain. Sebab, menyitir filsuf Hegel, pemikiran ”selalu muncul kelewat terlambat ketika fakta sudah ganas menggigit setelah proses pembentukannya usai”. Memang, ”burung hantu Minerva mulai terbang hanya saat senja telah tiba.” Artinya, kebijaksanaan hanya muncul di akhir hari. Itu pun hanya mungkin bila kita sedikit lebih mendalam bertanya apa yang telah terjadi. Dan apa yang terjadi bukan sekadar urusan teknikalitas keuangan serta ekonomi.

Kekacauan istilah

Setiap mahasiswa baru di fakultas ekonomi belajar asal-usul. ’Ekonomi’ berasal dari kata Yunani oikos dan nomos. Dari situ terbentuk oikonomia (tata kelola rumah tangga) dan oikonomike (seni mengelola rumah tangga). Xenophon (430-354 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) membahas hal itu. Cuma, Aristoteles buru-buru menambahkan perbedaan mendasar antara oikonomia dan chrematistike, seperti ditemukan di bagian awal bukunya, Politikon.

Chrematistike adalah siasat pengejaran harta dan uang demi uang itu sendiri. Meski biasanya muncul dari ekses oikonomia, chrematistike bukan bagian oikonomia, dan tegas dibedakan dari oikonomike. Mereka yang pernah mendengar nama Aristoteles mungkin mengerti, gagasan Aristoteles berdiri di atas prinsip ”apa yang baik adalah pemenuhan tujuan”. Maksudnya, jalan untuk dilalui, pisau untuk mengiris, atau otak untuk berpikir, dan bukan untuk yang lain.

Tentu, pisau bisa dijualbelikan. Namun, jual beli itu hanya disebut baik jika uang hasil penjualan dibelanjakan, misalnya untuk membeli baju. Dan baju hanya baik jika sesuai tujuan, yaitu membungkus tubuh atau berpantas diri. Dalam bahasa Aristoteles, ”Ia yang menjual sepatu untuk mendapatkan uang demi uang ... telah melakukan apa yang bukan tujuan.” Apalagi menjual uang demi uang itu sendiri!

Tidak sulit melihat gagasan itu terlalu asing bagi telinga kita. Dan pokok itu juga diajukan bukan agar kita kembali ke Aristoteles. Namun, segera kelihatan, apa yang dewasa ini disebut ekonomi dan ilmu ekonomi sebenarnya amat jauh dari oikonomia dan oikonomike, tetapi lebih tepat disebut chrematistike. Jika memakai bahasa sekarang, chrematistike adalah jual beli uang demi uang sendiri dalam berbagai bentuknya, persis huru-hara yang telah membawa kita ke malapetaka hari- hari ini. Maka, menyebut jual beli uang sebagai ekonomi—chrematistike sebagai oikonomia—bukan hanya kesesatan mendasar, tetapi juga membentuk dalam diri kita perilaku sesat tentang ekonomi.

Mengapa chrematistike sama sekali bukan oikonomia, dan mengapa yang pertama buruk, sedangkan yang kedua baik? Jawaban Aristoteles panjang dan jauh lebih menawan daripada cara berpikir kita. Semua bermuara pada satu hal: orang-orang yang melakukan chrematistike ”hanya berhasrat untuk hidup, tetapi bukan hidup yang baik”.

Cuma, sejak kapan chrematistike terpeleset menjadi oikonomia? Soal ini membawa kita ke temaram sejarah abad ke-19. Dalam kepekatan kabut masa lalu, jejak pelesetan itu dapat dikenali dalam gagasan filsuf Inggris, John Stuart Mill, yang awalnya hanya ingin membuat ketat obyek kajian ekonomi. Tahun 1836 ia menulis: Ekonomi ”tidak mengkaji seluruh perilaku manusia.., tetapi hanya hasrat makhluk yang mengejar harta.., dengan menepis hasrat lain kecuali pengejaran harta”. Dalam silang pendapat, upaya metodologis Mill ini lalu berpengaruh secara mendalam, terutama pada mazhab ekonomi yang kini disebut neoklasik.

Rekaan metodologis itu membiakkan bukan hanya cara berpikir, tetapi membentuk cara berperilaku. Dari situ pula berkembang gambaran ”makhluk ekonomi” (homo oeconomicus). Apa relevansi semua ini dengan kegagapan kita atas petaka yang terjadi hari-hari ini?

Ketercerabutan ekonomi

Syahdan, sejarah adalah perkawinan hasrat, tindakan, dan gagasan. Namun, gagasan rupanya lebih sering direka-reka sesudahnya untuk membenarkan hasrat dan tindakan, apa pun isinya. Pola itu tidak keliru diterapkan pada ilmu ekonomi yang dominan saat ini. Caranya? Caranya serumit labirin, tetapi itu bermuara ke satu agenda: bagaimana membuat kegiatan ekonomi tampak seperti peristiwa alam, semisal tsunami atau gempa bumi.

Seperti tsunami terjadi bukan karena tindakan manusia, begitu pula terjadinya utang beracun (toxic debt) dilihat bukan karena tindakan para baron keuangan, tetapi sistem perbankan. Apa yang fatal? Pertanyaan tentang ”siapa” (who) diusir dan diganti dengan ”apa” (what). Siasat itu bukannya tidak berguna sebab ia dapat menghindarkan analisis ekonomi dari selera pribadi. Namun, kerugiannya jauh lebih fatal daripada untungnya. Ekonomi sebagai ilmu manusia lalu dikosongkan dari manusia karena itu ia kehilangan isinya. Pokok ini punya implikasi jauh.

Pengosongan ”siapa” itu berisi pembuangan tanggung jawab (responsibility), sama seperti tsunami terjadi bukan karena tindakan manusia, tetapi gravitasi semesta. Dalam ekonomi dewasa ini, hukum gravitasi disebut ”sistem pasar”. Dengan itu, hasrat dan tindakan psikopatik dan patologis para baron finansial yang berjual beli uang demi uang juga terbebas dari tanggung jawab. Seperti biasa, pokok ini selalu dibaca sebagai sikap antipasar. Tak ada yang lebih keliru daripada pembacaan seperti itu.

Masalahnya bukan ekonomi pasar, tetapi ekonomi pasar yang berlaku dewasa ini adalah jenis ekonomi pasar yang tercerabut (disembedded). Sekali lagi, genius ekonomi pasar sungguh dapat membantu terciptanya hidup bersama asal kehidupan bersama tidak diperlakukan sebagai pasar. Kekacauan yang terjadi di pasar finansial hari-hari ini adalah bukti ketercerabutan itu. Bukankah itu pula yang terjadi berulang kali di Indonesia dalam 10 tahun ini? Dengan kegenitan ala Wall Street, bangsa petani berlagak melompat jadi pialang bursa. Apa yang belum terjadi adalah evolusi kultural. Maka, kita mirip ”orang utan” bermain lembar-lembar bursa, sementara lahan pertanian dan pabrik kian tidak dianggap titik berangkat oikonomia.

Namun, bagaimana menanam kembali (re-embedding) ekonomi yang telah tercerabut? Ini akan menyita catatan panjang. Di tengah luluh lantak pasar uang, mungkin berguna hari ini hanya mengajukan kehati-hatian sederhana. Itu pun bukan dari Wall Street, tetapi dari senior Aristoteles, yaitu Plato dalam Republik: ”Kalau yang disebut orang adil adalah ahli menjaga uang, ia tentu juga ahli mencuri uang.”

B Herry Priyono Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar