Selasa, 26 April 2011

Pertumbuhan Ekonomi

ANALISIS EKONOMI, Kompas, 26 April 2011

Tumbuh Lebih Tinggi dan Berkualitas

FAISAL BASRI

Target pertumbuhan ekonomi Presiden semasa kampanye hanya sekitar 6 persen setahun dan menembus 7 persen tahun 2014. Target ini tampaknya disadari terlalu rendah karena tak mampu menurunkan angka kemiskinan dan angka pengangguran secara signifikan.

Saat membuka rapat kerja pemerintah dan dunia usaha di Istana Bogor, awal minggu lalu, Presiden berharap, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 7-8 persen. Walaupun tak disebutkan target waktunya, sangat mungkin pertumbuhan itu bisa dicapai semasa pemerintahan sekarang ini.

Mari tengok identitas pendapatan nasional berikut: Y > Cp + I + G + NX, yang mana Y adalah pendapatan nasional atau produk domestik bruto (PDB), Cp adalah konsumsi masyarakat, G adalah konsumsi pemerintah, I adalah investasi atau pembentukan modal tetap kotor, dan NX adalah ekspor minus impor barang dan jasa.

Masing-masing komponen pengeluaran selama kurun waktu 2008-2010 rata-rata adalah 59 persen untuk Cp; 30 persen untuk I; 9 persen untuk G, dan 2 persen untuk NX.

Jika kita pakai hitung-hitungan kasar saja, katakanlah Cp tumbuh 5 persen, I naik 15 persen, dan G meningkat 10 persen, sedangkan NX tak berubah, maka pertumbuhan ekonomi bisa 8,35 persen. Apakah pencapaian setinggi itu nyaris mustahil?

Agaknya angka itu masih bisa tergapai. Pertumbuhan strata menengah yang ”menakjubkan” ditambah sebentar lagi belanja politik menjelang kampanye bakal membengkak, maka pertumbuhan konsumsi masyarakat sebesar 5 persen dan belanja pemerintah 10 persen tergolong moderat.

Sementara itu, pertumbuhan investasi akan ditopang oleh pertumbuhan kredit yang bisa 20 persen dan kian derasnya arus penanaman modal asing langsung. Belum lagi potensi belanja modal perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN) sehingga pertumbuhan investasi sebesar 15 persen sebetulnya masih sangat memungkinkan.

Kita sengaja tak mengharapkan sumbangsih dari NX karena pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi akan memacu impor lebih tinggi ketimbang ekspor. Sepanjang nilai ekspor masih bisa dipertahankan lebih tinggi dari nilai impor barang dan jasa, sebetulnya NX masih tetap memberikan sumbangan positif bagi pertumbuhan ekonomi.

Namun, apalah gunanya pertumbuhan tinggi kalau hanya setahun lalu lunglai kembali. Apa pula gunanya kalau pertumbuhan berbasis sempit, tak mengalir ke segala penjuru dan ke seluruh lapisan masyarakat. Maka, tantangan yang menghadang adalah bagaimana tumbuh tinggi tetapi berkelanjutan dan mampu mengangkat kesejahteraan lapisan masyarakat terbanyak.

Tantangan pertama adalah mengenyahkan sumbatan. Di antara empat sumbatan yang disampaikan Wakil Presiden pada rapat kerja di Istana Bogor—yakni infrastruktur, peraturan yang tumpang tindih, korupsi, dan kapasitas birokrasi—yang pertama tak bisa ditunda-tunda lagi. Penekanannya harus pada infrastruktur pertanian dan pedesaan karena dua pertiga penduduk miskin ada di pedesaan/pesisir dan 72 persen dari mereka bekerja di sektor pertanian. Mengingat kepemilikan lahan kian sempit, maka untuk meningkatkan jam kerja petani, industrialisasi di pedesaan dengan teknologi tepat guna menjadi pilihan yang cukup realistis.

Kedua, industrialisasi menjadi ujung tombak perbaikan kualitas pertumbuhan. Jika hanya sektor jasa atau non-tradable yang senantiasa tumbuh di atas 8 persen, sedangkan sektor penghasil barang atau tradable tetap terseok-seok dengan pertumbuhan di bawah 4 persen, niscaya fondasi perekonomian kita tak akan kunjung kokoh menghadapi turbulensi perekonomian global serta tak akan mampu menebalkan kelompok kelas menengah yang solid.

Industrialisasi pun tak bisa sekadar bertumpu pada basis yang sempit seperti dewasa ini, yaitu hanya mengandalkan industri kendaraan bermotor dan elektronik. Industri makanan dan minuman harus diselamatkan dari ancaman barang-barang impor, mengingat industri ini menyumbang hampir sepertiga dari penciptaan nilai tambah industri nasional dan sangat menjadi tumpuan banyak pelaku usaha dari segala ukuran.

Yang tak kalah penting adalah memajukan industri yang berbasis sumber daya alam yang selama lima tahun terakhir banyak mengalami kemunduran. Industri-industri inilah yang seharusnya menjadi tumpuan masa depan kita. Untuk itu, kebijakan industrial harus ditata ulang. Yang jelas-jelas menyesatkan harus dienyahkan, semisal kebijakan bea keluar untuk produk-produk sawit.

Bagaimana mungkin keluar suatu kebijakan yang justru ”menghukum” pengembangan hilirisasi sawit sebagaimana terlihat dari struktur tarif bea keluar yang flat. Memang tarif untuk tandan buah segar tinggi, yaitu 40 persen. Namun, bukankah ini pembodohan, mengingat tak ada ekspor tandan buah segar ini. Sementara itu, produk-produk turunannya praktis dikenai tarif merata antara 20-25 persen. Dengan struktur tarif bea keluar seperti itu, sama saja pemerintah ”melarang” pengembangan industri hilir sawit.

Terakhir, sinergikan kekuatan kita yang masih terselubung. Sangat memalukan jika seluruh BUMN dengan aset lebih dari Rp 2.000 triliun hanya mencetak laba kotor Rp 88 triliun tahun 2009. Bandingkan dengan satu BUMN Malaysia, Petronas, yang punya aset Rp 1.096 triliun, tetapi membukukan laba kotor Rp 148 triliun. Satu setengah kali lipat dari laba seluruh BUMN kita.

Sudah teramat kerap rapat kerja besar-besaran digelar oleh pemerintah. Jangan lagi terlalu kerap ubah-ubah rencana dan target serta hadirkan berbagai cetak biru dan sejenisnya serta tim ad hoc. Laksanakan apa yang sudah ada secara konsisten. Niscaya hasilnya akan lebih baik ketimbang melakukan bongkar-pasang tetapi sebatas gagasan yang tak membumi.

Faisal Basri Pengamat Ekonomi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar