Selasa, 26 April 2011

Tsunami Jepang

ANALISIS EKONOMI

Dampak Ekonomi Tsunami Jepang

MUHAMMAD CHATIB BASRI

Jumat, 11 Maret 2011, dunia menundukkan kepala untuk tragedi tsunami di Jepang. Kita—di negeri ini yang pernah mengalami tsunami di Aceh—mengetahui betapa beratnya bencana itu. Bagaimana dampaknya terhadap perekonomian regional dan Indonesia? Memang terlalu pagi untuk menyimpulkan, tetapi agaknya kita bisa belajar dari dampak gempa di Kobe, Jepang, tahun 1995. Saat itu, 6.434 orang meninggal dunia dan kerusakan yang ditimbulkan diperkirakan sekitar 100 miliar dollar AS (2,5 persen dari PDB). Bagaimana dampaknya?

Pertama, dampak terhadap produksi. Dalam kasus Kobe, produksi menurun sekitar 3 persen dalam bulan pertama. Namun, dalam waktu tiga bulan, ekonomi kembali pulih. Dampak tsunami 2011 diperkirakan jauh lebih besar daripada Kobe (mungkin lebih dari 3 persen dari produk domestik bruto/PDB). Maka, agaknya dibutuhkan waktu lebih panjang dalam pemulihan. Namun, saya memperkirakan bahwa dalam waktu 4-6 bulan, ekonomi Jepang akan kembali bergerak dan pulih. Pemulihan ini akan didorong oleh pengeluaran pemerintah untuk rekonstruksi infrastruktur yang rusak. Pengeluaran pemerintah—yang mungkin lebih dari 1 persen PDB—akan sama dampaknya seperti stimulus fiskal. Tentu analisis ini mengasumsikan bahwa masalah nuklir dapat diatasi. Bila bencana nuklir terjadi, dampaknya akan jauh besar karena aktivitas ekonomi akan terhenti akibat bahaya radiasi nuklir.

Kedua, dampak terhadap sektor keuangan. Seperti dalam kasus Kobe, tsunami di Jepang akan memaksa industri asuransi dan perusahaan-perusahaan di Jepang menarik uangnya kembali ke Jepang untuk pembiayaan rekonstruksi. Yen akan mengalami penguatan yang cukup signifikan. Sayangnya, yen yang terlalu kuat akan menyulitkan pemulihan ekonomi Jepang. Oleh karena itu, saya kira tepat langkah yang diambil G-7 untuk melakukan stabilisasi yen.

Jika yen dapat distabilkan dan bencana nuklir dapat diatasi, dalam waktu 3-6 bulan ekonomi Jepang akan kembali membaik. Namun, hati-hati, defisit anggaran di Jepang sudah begitu tinggi. Rasio utang terhadap PDB-nya juga sudah mendekati 200 persen (bandingkan dengan Indonesia yang di bawah 27 persen). Dengan defisit dan rasio utang yang begitu besar, Jepang akan punya persoalan serius. Apalagi, dalam jangka panjang tekanan penduduk lansia (aging population) akan membuat defisit anggaran lebih parah. Selain itu, Jepang saat ini juga masih dalam tahap awal pemulihan akibat krisis finansial global tahun 2008. Oleh karena itu, walau dampak tsunami tampaknya bisa diatasi, Jepang harus sangat hati-hati.

Bagaimana dampaknya bagi perekonomian regional, khususnya Indonesia? Dampaknya akan tecermin melalui jalur perdagangan dan keuangan.

Untuk jalur perdagangan, penurunan produksi di Jepang dalam jangka waktu 1-3 bulan akan mengganggu ekspor negara di Asia, termasuk Indonesia. Jepang merupakan negara tujuan ekspor terbesar untuk Indonesia (16 persen). Selain itu, Jepang juga merupakan pusat rantai produksi regional di Asia. Penurunan produksi di Jepang akan memengaruhi negara atau perusahaan yang terlibat dalam jaringan produksi. Akibatnya, aktivitas produk komponen dan elektronik akan terganggu. Untung—atau sialnya—Indonesia agak tertinggal di dalam jaringan produksi ini dibandingkan negara lain.

Oleh karena itu, dampak negatif bagi Indonesia relatif terbatas. Yang harus diperhatikan adalah penurunan produksi di Jepang dapat memengaruhi ketersediaan impor barang modal dari Jepang. Akibatnya, produksi di Indonesia dapat terganggu. Oleh sebab itu, penting sekali bagi perusahaan Indonesia yang terlibat dalam rantai produksi regional untuk melakukan antisipasi dalam inventori dan logistik. Selain itu, apresiasi yen juga dapat meningkatkan biaya produksi bagi perusahaan Indonesia yang barang modalnya dari Jepang.

Untuk jalur keuangan, mengalirnya arus uang untuk pembiayaan rekonstruksi dan asuransi ke Jepang akan membuat pasar keuangan global dalam jangka pendek terganggu. Tentunya ini akan berpengaruh pada Indonesia. Kita akan melihat pasar modal menurun, lalu membaik sejalan dengan rekonstruksi yang terjadi di Jepang.

Adakah peluang ekonomi bagi kita? Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan bahwa sekitar 30 persen dari energi di Jepang bersumber dari nuklir. Rusaknya reaktor nuklir akan mengakibatkan bergesernya permintaan ke sumber energi lain, seperti gas, batu bara, dan minyak. Bisa diduga, harga batu bara, gas, dan minyak meningkat, begitu juga permintaan bijih besi, nikel, kayu lapis, dan tembaga untuk rekonstruksi. Ini artinya peluang dan kesempatan bagi Indonesia.

Yang menjadi soal, jika harga ekspor meningkat tajam, pasokan energi untuk domestik akan berkurang. Harga ekspor yang tinggi akan berhadapan dengan harga domestik yang relatif rendah. Produsen akan cenderung menjual produknya untuk ekspor. Akibatnya, industri domestik akan terkena. Ironisnya, kita tahu, pelarangan ekspor tidak akan efektif karena hanya akan mengakibatkan penyelundupan dan menguntungkan negara pengekspor barang sejenis. Yang perlu dipikirkan adalah skema agar insentif untuk menjual produk di domestik dan ekspor sama. Tanpa itu, kita tidak bisa memanfaatkan peluang yang ada ini. Sudah siapkah pemerintah dengan ini? Jangan sampai terlambat.

Muhammad Chatib Basri Pendiri CReco Research Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar