Selasa, 26 April 2011

Di Balik Angka Kemiskinan

Kompas, Kamis, 14 September 2006

Kecuk Suhariyanto

Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebanyak 39,05 juta orang atau 17,75 persen dari total penduduk. Dibandingkan dengan kondisi Februari 2005, berarti jumlah penduduk miskin bertambah 3,95 juta orang, dengan catatan 2,06 juta di perdesaan dan 1,89 juta di perkotaan.

Data kemiskinan pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ini dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Jumat siang, 1 September 2006. Bisa jadi data ini mengundang berbagai reaksi. Kelompok yang berpendapat bahwa kenaikan harga BBM akan menurunkan tingkat kemiskinan, dengan alasan penduduk miskin akan mendapatkan kompensasi yang jumlahnya lebih besar (overcompensated) dari kebutuhan untuk mempertahankan kesejahteraan yang sama, boleh jadi gigit jari, tak enak hati, dan menuduh metode penghitungan kemiskinan yang digunakan BPS tidak akurat.

Yang jelas, BPS tetap menggunakan metode yang sama sejak tahun 1998. Artinya, hasil penghitungan yang diperoleh konsisten dan sebanding dengan hasil penghitungan tahun-tahun sebelumnya (apple to apple). Tiga tahun terakhir (2003-2005), dengan metode dan jumlah sampel yang sama, tak ada yang angkat suara. Apa karena jumlah penduduk miskin turun? Kalau mau dicari-cari, tentu saja metode tersebut ada kelemahannya. Di dunia ini mana ada yang sempurna. Kecurigaan yang telanjur berkembang bahwa BPS akan mengubah metodologi supaya jumlah penduduk miskin berkurang sama sekali tak terbukti.

Kelompok lain, yang berpendapat bahwa kenaikan harga BBM akan menambah beban hidup rakyat sehingga jumlah penduduk miskin akan meningkat, boleh jadi lega karena argumennya terbukti benar. Namun, bisa jadi kelompok ini masih tidak puas dan berpendapat bahwa data jumlah penduduk miskin yang dirilis BPS terlalu rendah karena BPS sudah diintervensi pemerintah. Mereka punya hitungan sendiri dengan berbagai asumsi sehingga menghasilkan angka tertentu. Bisa jadi metode yang digunakan juga berbeda.

Saya pribadi tidak berminat membuang energi memperdebatkan soal data karena kemiskinan bukanlah sekadar angka. Bertambah atau berkurang 3,95 juta, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih saja puluhan juta. Kalau terus terjadi debat angka, bagaimana dengan nasib mereka?

Indikator ekonomi

Dengan memerhatikan berbagai indikator ekonomi yang berkaitan erat dengan tingkat kemiskinan, jauh-jauh hari sebenarnya sudah bisa diprediksi bahwa jumlah penduduk miskin bakal meningkat. Kenaikan harga BBM pada Maret dan Oktober 2005 menyebabkan berbagai harga barang meningkat dan memacu inflasi setinggi 17,95 persen selama Februari 2005-Maret 2006.

Salah satu komponen penting dari inflasi adalah harga beras yang naik 37,72 persen. Dapat dipastikan, kenaikan harga beras yang tinggi ini memukul telak penduduk miskin. Bagi mereka, kestabilan harga beras sangatlah berarti karena persentase pengeluaran beras terhadap total pengeluaran sebulan mencapai 23 persen. Di daerah pedesaan, persentase ini bahkan lebih tinggi lagi, berkisar 26 persen.

Indikator ekonomi lain yang berkaitan erat dengan kemiskinan adalah upah riil buruh tani. Sekitar 70 persen penduduk miskin di perdesaan bekerja di sektor pertanian. Dapat diduga mereka adalah petani gurem atau buruh tani. Rata-rata upah nominal harian buruh tani memang naik dari Rp 11.522 pada Februari 2005 menjadi Rp 13.510 pada Maret 2006, tetapi upah riilnya turun dari Rp 2.599 menjadi Rp 2.558. Penurunan yang tidak seberapa, katanya, tetap saja membuat daya beli para buruh tani berkurang.

Kenaikan harga BBM juga berdampak pada meningkatnya angka pengangguran. Jumlah penganggur terbuka pada Februari 2005 sebesar 10,9 juta orang, naik menjadi 11,9 juta pada November 2005 dan turun menjadi 11,1 juta pada Maret 2006. Naiknya angka pengangguran ini bisa saja membuka kemungkinan untuk menambah jumlah penduduk miskin. Dari indikator-indikator tersebut, sebenarnya tak perlu kaget kalau jumlah penduduk miskin bertambah. Kalau masih ada yang tidak mau terima, itu namanya membabi buta.

Tampaknya pemerintah menyadari betul bahwa kenaikan harga BBM bakal membuat beban rakyat semakin berat. Usaha pemerintah menggulirkan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) BBM dalam berbagai bentuk (bantuan langsung tunai/BLT, bantuan operasional sekolah/BOS, raskin, askeskin) patutlah dihargai karena bertujuan mulia. Berhasilkah program tersebut? Tergantung dari sudut mana kita memandang.

Saya tidak pernah mempertimbangkan BLT sebagai program pengentasan kemiskinan. Kemiskinan adalah masalah kompleks yang perlu penanganan yang betul-betul terencana dan berkesinambungan. Mana mungkin mengentaskan kemiskinan hanya dengan memberi santunan sesaat? Menurut saya, BLT memang benar-benar bantuan yang diberikan kepada penduduk miskin agar kehidupan mereka tidak semakin memburuk karena sulitnya ekonomi. Dari sudut pandang ini, BLT jelas sangat bermanfaat bagi penduduk miskin.

BLT yang diberikan kepada rumah tangga miskin diduga merupakan salah satu sumber pendapatan yang diperoleh penduduk miskin untuk menutupi peningkatan pengeluaran akibat kenaikan harga-harga. Tanpa adanya program tersebut, bisa dipastikan jumlah penduduk miskin akan jauh lebih banyak.

Satu hal tampaknya terlewat dari perhitungan. Kenaikan harga BBM yang begitu tinggi, yang tak pernah diduga oleh siapa pun sebelumnya, ternyata tidak hanya memukul penduduk miskin, tetapi juga penduduk hampir/tidak miskin. Meskipun sebagi- an penduduk miskin berubah status menjadi tidak miskin, pada saat yang bersamaan sebagian penduduk yang hampir/tidak miskin juga berubah status menjadi miskin.

Banyak data tersembunyi

Di balik angka kemiskinan yang sebesar 39,05 juta masih tersembunyi banyak data yang menunjukkan berbagai permasalahan yang meresahkan dan perlu mendapat perhatian kita semua.

Pertama, persoalan kemiskinan bukan sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Ada indikasi bahwa Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan menunjukkan kecenderungan meningkat. Dengan kata lain, kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin memburuk.

Kedua, kenaikan harga beras dan berbagai barang kebutuhan pokok lainnya membuat penduduk miskin tak punya pilihan lain dan terpaksa mengurangi kuantitas barang-barang kebutuhan pokok yang dikonsumsi. Kalau tak cepat ditangani, dikhawatirkan akan menimbulkan masalah yang berkaitan dengan kesehatan dan gizi di kemudian hari.

Ketiga, alau penurunan pengeluaran hanya terjadi untuk sandang atau pakaian saja, mungkin tak jadi apa. Namun, yang memprihatinkan, penurunan pengeluaran juga terjadi untuk keperluan pendidikan dan kesehatan. Dalam jangka panjang, hal ini akan membuat akses penduduk miskin terhadap sumber daya ekonomi akan semakin kecil sehingga mereka tidak bisa ikut menikmati kue ekonomi yang dihasilkan.

Keempat, adanya perpindahan posisi penduduk dari miskin menjadi hampir/tidak miskin dan sebaliknya dalam jumlah yang cukup besar menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang tergolong miskin sementara (transient poor), yaitu penduduk yang penghasilannya dekat dengan garis kemiskinan, cukup besar. Sedikit guncangan ekonomi akan menyebabkan mereka berubah status. Karena itu, setiap kebijakan yang akan diambil, selain harus memperhitungkan dampaknya pada penduduk miskin kronis, juga harus mempertimbangkan dampaknya pada penduduk miskin sementara.

Hal-hal di atas mengajak kita daripada berdebat soal angka kemiskinan yang tak ada habisnya, lebih baik duduk bersama, bahu- membahu mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran untuk mencari solusi yang lebih efektif untuk mengurangi angka kemiskinan. Sungguh saudara-saudara kita yang terjerat dalam kemiskinan tidak perlu angka, tetapi tindakan nyata. Tanya kenapa?

Kecuk Suhariyanto Kepala Subdit Analisis Statistik, BPS

Kompas, Senin, 16 Oktober 2006

Kemiskinan dan Konversi Lahan

Kecuk Suhariyanto

Di Indonesia, konversi lahan pertanian merupakan masalah krusial.

Fenomena alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian merupakan ancaman terhadap ketahanan pangan maupun lingkungan. Puluhan aturan perundang-undangan mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, surat edaran menteri, sampai keputusan gubernur dibuat untuk mencegah terjadinya konversi lahan pertanian, namun efektivitasnya di lapangan belum terlihat secara nyata. Konversi lahan pertanian terus terjadi dari waktu ke waktu sampai tingkatan yang mencemaskan dan mengganggu.

Secara umum, ada dua faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal merupakan dampak langsung dari terjadinya proses transformasi struktur ekonomi dan demografis. Disatu sisi persediaan lahan bersifat tetap, disisi lain permintaan terhadap lahan terus meningkat karena didorong oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas sosial ekonomi. Proses tersebut menuntut adanya realokasi sumber daya lahan dari pertanian ke non-pertanian. Akibatnya pola penggunaan lahan bergeser pada aktivitas non-pertanian yang lebih menguntungkan. Faktor internal yang menyebabkan terjadinya konversi lahan adalah kemiskinan yang menjerat rumah tangga pertanian. Buruknya kondisi sosial ekonomi menjadi pemicu bagi petani untuk mengkonversi atau bahkan menjual lahan pertaniannya karena mereka merasa tidak mendapatkan keuntungan ekonomis dari lahan tersebut.

Kemiskinan Petani

Kemiskinan yang menjerat petani tercermin jelas dari hasil Sensus Pertanian 2003 yang menunjukkan perubahan kearah yang mengkhawatirkan. Selama kurun waktu 1993-2003, rata-rata luas lahan pertanian yang dikuasai oleh rumah tangga pertanian pengguna lahan turun dari 0,80 hektar menjadi 0,72 hektar. Di Jawa yang padat penduduknya, rata-rata luas lahan pertanian yang dikuasai hanya seluas 0,38 hektar, turun dari 0,47 hektar. Semakin sempitnya rata-rata luas lahan yang dikuasai ini tidak dapat dihindarkan karena jumlah rumah tangga pertanian terus meningkat sementara luas lahan pertanian tetap atau malah berkurang. Akibatnya, terjadi fragmentasi lahan dan peningkatan jumlah rumah tangga pertanian gurem, yaitu rumah tangga pertanian pengguna lahan yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar. Rumah tangga pertanian gurem meningkat 2,17 persen per tahun sehingga jumlahnya mencapai 13,3 juta rumah tangga pada tahun 2003. Ini berarti 55 persen dari total rumah tangga pertanian pengguna lahan adalah rumah tangga pertanian gurem. Sempitnya lahan ini membuat pengusahaan menjadi tidak efisien sehingga menghasilkan pendapatan yang rendah. Tidak mengherankan kalau sekitar 70 persen penduduk miskin di daerah perdesaan berada di sektor pertanian.

Selain sempitnya lahan yang dikuasai, masalah lain yang dihadapi petani adalah permodalan dan kesulitan memperoleh sarana produksi. Mayoritas rumah tangga pertanian (85 persen) masih bergantung pada modal sendiri untuk membiayai usaha pertaniannya. Hanya 3 persen yang mendapatkan kredit dari bank, 2 persen dari kredit non-bank dan 10 persen dari kredit lainnya. Padahal modernisasi pertanian menuntut biaya produksi yang lebih besar. Tanpa modal yang memadai, petani tidak mungkin melakukan pemupukan dan pembasmian hama penyakit sesuai dengan anjuran. Hasilnya, produktivitas tanaman menjadi rendah, jauh dari harapan. Masalah keterbatasan modal ini masih ditambah lagi dengan sulitnya memperoleh sarana produksi seperti pupuk dan pestisida. Sekitar 25 persen rumah tangga pertanian mengaku mengalami kesulitan dalam memperoleh sarana produksi. Penyebab utamanya adalah harga yang mahal (59 persen), lokasi terpencil (17 persen), sarana produksi tidak tersedia (13 persen) dan sisanya karena alasan lain-lain. Sangat beralasan kalau 58 persen rumah tangga pertanian berpendapat bahwa keadaan ekonomi rumah tangganya saat ini tak ada bedanya dengan keadaan ekonomi tahun-tahun sebelumnya, bahkan 22 persennya mengaku keadaan ekonominya memburuk. Artinya, pembangunan pertanian yang dijalankan selama ini baru berhasil memacu pertumbuhan produksi namun belum membawa dampak pada peningkatan kesejahteraan petani.

Karena tak memperoleh pendapatan yang cukup dari lahan pertaniannya, para petani terpaksa bekerja di luar sektor pertanian. Pada tahun 2004, rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian hanya Rp. 9,3 juta per tahun atau Rp.775 ribu per bulan, dengan catatan 33 persennya berasal dari usaha dan buruh di luar sektor pertanian. Bekerja sebagai buruh di luar sektor pertanian memang lebih menjanjikan dibandingkan menjadi buruh tani. Secara nasional, rata-rata upah nominal harian buruh tani hanya sebesar Rp.13.510,- pada Maret 2006, sementara upah buruh bangunan dua setengah kali lipat lebih tinggi, yaitu sebesar Rp.33.917,-. Dalam jangka panjang, sektor pertanian akan ditinggalkan karena tak menarik lagi. Para petani akan berbondong-bondong menyerbu sektor non-pertanian sehingga suatu saat nanti akan sulit mendapatkan tenaga kerja di sektor pertanian.

Konversi dan Mutasi Lahan

Kemiskinan yang melibat petani yang terjadi karena sempitnya lahan yang dikuasai, terbatasnya permodalan, sulitnya memperoleh sarana produksi, ditambah rendahnya harga produk pertanian di tingkat petani, membuat petani merasa tidak mendapatkan keuntungan ekonomis dari lahan pertanian. Faktor ini pada akhirnya mendorong petani untuk mengkonversi atau menjual lahannya.

Selama kurun waktu 1999-2003, 423 ribu rumah tangga pertanian melakukan konversi lahan pertanian dalam berbagai bentuk, seperti mengkonversi lahan sawah menjadi lahan pertanian bukan sawah dan lahan bukan pertanian, atau mengubah peruntukan lahan pertanian bukan sawah menjadi lahan sawah dan lahan bukan pertanian. Dalam kurun waktu tersebut, 64.718 hektar lahan sawah hilang dan berubah fungsi menjadi lahan pertanian bukan sawah dan lahan bukan pertanian. Dalam jangka waktu yang sama, luas lahan sawah hanya bertambah sebesar 16.803 hektar sehingga luas bersih sawah yang hilang mencapai 47.915 hektar. Angka ini lebih kecil dari pada angka konversi lahan yang sebenarnya terjadi di lapangan karena angka tersebut adalah konversi lahan yang hanya dilakukan oleh rumah tangga pertanian. Bukan rahasia lagi bahwa sebagian besar lahan pertanian dimiliki oleh orang-orang kota. Konversi lahan pertanian yang mereka lakukan tidak tercatat dalam sensus pertanian karena mereka tidak tergolong rumah tangga pertanian. Belum lagi adanya konversi lahan karena pembangunan berbagai infrastruktur.

Dari total 64.718 hektar sawah yang hilang, 38 persennya merupakan lahan sawah di Jawa dan sisanya diluar Jawa. Meskipun secara absolut total luas sawah yang hilang di Jawa lebih kecil dari luar Jawa, kerugian yang ditimbulkan sangat besar karena kualitas lahan sawah di Luar Jawa belum mampu menyamai kualitas lahan sawah di Jawa. Hal ini tercermin dari produktivitas padi di Jawa yang jauh lebih tinggi daripada produktivitas padi di Luar Jawa. Di Jawa produktivitas padi mencapai 51,87 kuintal per hektar, lebih tinggi 32% dibanding produktivitas padi di Luar Jawa yang hanya sebesar 39,43 kuintal per hektar. Pada masa mendatang trend konversi lahan sawah di Jawa diperkirakan akan terus berlangsung sehingga beban wilayah ini sebagai penghasil pangan akan semakin berat.

Daya tarik sektor pertanian yang terus menurun dan kemiskinan yang menjerat petani mendorong mereka untuk melepas kepemilikan lahannya. Sebanyak 429 ribu rumah tangga pertanian menjual lahan pertaniannya selama kurun waktu 1999-2003. Yang mengkhawatirkan, jumlah rumah tangga pertanian yang menjual lahan pertaniannya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1999, rumah tangga pertanian yang menjual lahan pertaniannya sebanyak 68.430, namun jumlah ini meningkat pesat sehingga mencapai 160.281 rumah tangga pada tahun 2003.

Komitmen Politik

Konversi lahan pertanian tidak dapat dibiarkan terus berlangsung tanpa arah. Konversi lahan yang tak terkendali, baik oleh perorangan atau secara masal oleh pengembang, merupakan ancaman serius bagi masa depan negara ini. Ketahanan pangan akan rapuh karena produksi pertanian merosot sehingga ketergantungan pada pangan impor akan semakin tinggi. Tenaga kerja di sektor pertanian kehilangan pekerjaan dan jumlah penganggur meningkat sehingga berpotensi menimbulkan kerawanan sosial. Daerah perdesaan ditinggalkan dan arus urbanisasi tak terbendung lagi. Ditambah lagi masalah degradasi lingkungan.

Persoalan konversi lahan harus betul-betul ditangani secara serius. Untuk membendung laju konversi lahan, diperlukan komitmen politik, kesungguhan dan kemauan dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Kebijakan yag dirancang harus menunjukkan keberpihakan ke sektor pertanian. Persoalan konversi lahan bukan hanya kebutuhan lahan untuk sektor lain, tetapi juga menyangkut kemiskinan yang menjerat petani. Tanpa adanya perbaikan kesejahteraan petani, jangan harapkan konversi lahan berhenti.

***

Kecuk Suhariyanto Kepala Subdit Analisis Statistik, BPS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar