Rabu, 27 April 2011

Kebijakan MakroEkonomi dengan Kemiskinan

Indonesia adalah suatu negara yang sedang mencari rute untuk kesejahteraan umum yang lebih besar dan masuknya kelompok yang kurang beruntung ke kelas menengah... ekonomi yang secara moral diterima harus memiliki dinamika yang cukup untuk menciptakan pekerjaan yang banyak dan cukup menarik serta bermanfaat, disamping berkeadilan.
- Edmund S. Phelps, Macroeconomics for a Modern Economy, Nobel Prize Lecture, 8 December 2006.

Iwan Jaya Azis pada Institut ADB
Slower growth and higher inflation can worsen poverty. By implication, maintaining macroeconomic stability is necessary to reduce poverty. When a typical aggregate demand (AD) policy for stabilization is not effective, however, its impact on poverty could be devastating as incomes of the poor typically decline with falling output. In this study, I argue that when poverty reduction is included in welfare objectives, it is imperative that policymakers weigh the impact of macroeconomic policy on the poverty line and household incomes.
I address this issue by exploring the theoretical and empirical link between output, price, poverty line, and household incomes, and juxtapose them with their combined effect on poverty. Central to my argument is the premise that neither growth itself nor stability per se is the answer to poverty reduction. Applying a structural vector autoregression (SVAR) with the Blanchard-Quah (B-Q) restriction to the data of two Asian countries, Thailand and Indonesia, it was revealed that the aggregate supply (AS) curves in both countries are flat, implying that a stabilization policy based on AD shock is not effective. On the other hand, an AD expansion can produce non-inflationary growth and raise the incomes of the poor. To the extent that the transmission mechanism through which output affects household incomes is complex, involving direct, indirect, and feedback effects within an economy-wide system, a general equilibrium model with a detailed financial block was used. From the model simulations, poverty and income inequality results were found to be sensitive to the type of shock, price elasticity of wages, and structure of the economy, particularly the mechanisms by which the financial sector affects household income. While a positive fiscal shock tends to reduce poverty in Thailand, but not in Indonesia, the effect of an expansionary monetary policy on poverty can be either favorable or unfavorable. As shown in the Indonesia case, when the price elasticity of wages is low, the effect can be favorable but it can be unfavorable if the elasticity is high. An expansionary policy can raise the earnings of financial asset holders (i.e., higher income households) more than the incomes of the poor, as is the case in Indonesia, but not in Thailand. A fundamental gain from using the approach is to allow policymakers to measure the intensity of the trade-offs between growth, stability, and poverty, based upon which macroeconomic stability with lower poverty can be achieved.

MENUMBUHKAN HARAPAN BAGI AFRIKA

Iwan Jaya Azis

"Kita kehilangan abad 20." Demikian pendapat salah satu pemikir terkemuka Nigeria. Kondisi ekonomi banyak negara Afrika memang sangat terbelakang. Indikator sosial, yang umumnya berkaitan erat dengan tingkat kemajuan ekonomi, juga menunjukkan keterbelakangan mereka. Di-tengah situasi demikian, hutang negara negara Afrika makin mempersulit proses reformasi ekonomi yang selalu didengungkan oleh hampir semua pihak, termasuk Bank Dunia dan IMF.

Banyak lembaga internasional yang berusaha mencarikan jalan keluar, bahkan negara "selatan" lain, termasuk Indonesia, juga berusaha membantu. Perhatian dunia memang makin besar, meskipun frustrasi yang muncul juga tidak kalah besarnya. Bukan kebetulan kalau Presiden Bank Dunia yang sekarang, begitu menempati posisinya langsung melakukan kunjungan pertama ke benua ini. Sekedar simbolis? Mungkin ya mungkin tidak.

Banyak strategi dan kebijakan yang sudah disampaikan kepada pemerintah Afrika. Ada usulan yang baik, didasarkan pada studi mendalam serta mengikut-sertakan input masyarakat Afrika sendiri, namun juga tidak sedikit usulan teknokratis yang abstrak dari kenyataan dunia Afrika. Tapi fakta menunjukkan bahwa dalam dekade terakhir ini tidak banyak hasil yang dicapai. Bagi beberapa pihak, ini sumber frustrasi, tapi bagi yang lain, kesabaran lebih banyak dituntut. Argumentasi kaum optimis: yang penting arah kebijakan sudah dibenarkan, dan untuk melihat hasilnya kita perlu lebih sabar menunggu.

Apakah begitu suram keadaan di Afrika? Unsur non-ekonomi berperan sangat besar untuk menjawab pertanyaan ini. Konflik antar-suku banyak terjadi, motif membangun untuk kepentingan negara, bukan kepentingan suku dan teritorial, masih minim, dan tingkat korupsi merajalela. Pemenang hadiah Nobel kesusasteraan dari Nigeria, Wole Soyinka, bahkan beranggapan bahwa masyarakat di sana sudah "morally bankrupt". Sebelum unsur unsur ini teratasi, sulit mengajukan proposisi untuk perbaikan ekonomi. Demikian pendapat sebagian besar akhli, termasuk pihak asing, yang pernah diminta memberi saran kepada pemerintah Afrika. Apa benar pendapat semacam ini? Bukankah itu semacam pengakuan implisit bahwa ilmu ekonomi tidak dapat memecahkan masalah sosial kemasyarakatan di Afrika?

Tapi, Nigeria memang kekecualian, jadi tidak bisa dijadikan ukuran. Sejak boom minyak tahun 1974, makin terlihat jelas bahwa sumber alam tersebut lebih merupakan curse than blessing bagi mereka.

Sebenarnya, untuk Afrika ada satu hal yang cukup memberi harapan. Meskipun tidak semua, sebagian besar negara di benua tersebut mulai menunjukkan perbaikan di bidang ekonomi makro. Program reformasi ekonomi yang mereka lakukan sejak tahun 1980an mulai menunjukkan hasilnya. Namun, sayang sekali kelanjutan dari perbaikan makro belum tercermin dalam banyak segi kehidupan masyarakat, apalagi mereka yang tergolong miskin dan tidak tinggal di daerah perkotaan. Ini suatu contoh klasik kesenjangan antara indikator makro dan gejala mikro.

Ada dua atau tiga contoh negara yang menyandang predikat sukses dalam ekonomi makro mereka. Ghana salah satunya. Dalam beberapa tahun terakhir, tepatnya sejak "Economic Recovery Program" dicanangkan tahun 1983, pertumbuhan ekonomi Ghana mencapai rata-rata 5% per-tahun, suatu angka yang sudah tergolong tinggi untuk ukuran Afrika. Tidak ada hal yang aneh dari prestasi tersebut. Kita semua, terutama dari kawasan Asia Pasifik, sudah faham dengan indikator yang umumnya menyertai keberhasilan tersebut: perekonomian yang makin terbuka (porsi ekspor impor dalam GDP Ghana naik dari 32% tahun 1986 menjadi 55% tahun 1994), peran sektor swasta makin besar, dan proses perubahan struktural dari pertanian ke industri juga terjadi dengan cepat.

Implikasi pertumbuhan juga tidak terlalu mengherankan. Tingkat kemiskinan di Ghana turun dari 37% tahun 1987 menjadi 32% tahun 1991, dan proses perbaikan semacam ini terjadi baik di kota maupun di daerah pedesaan.

Namun, juga sesuai dengan perkiraan kita, program reformasi yang menghasilkan pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan diikuti oleh ketimpangan distribusi pendapatan. Perbaikan infrastruktur sosial, seperti kesehatan dan pendidikan, tidak banyak dirasakan oleh kelompok yang paling miskin, karena sebagian besar fasilitas tersebut berada di daerah perkotaan.

Contoh "sukses" lain terjadi di Pantai Gading (Ivory Coast). Pertumbuhan ekonomi negara bekas jajahan Perancis ini bahkan lebih tinggi dari Ghana, antara 6% sampai 7%. Kondisi infrastruktur fisik, paling tidak dilihat dari gedung gedung dan kondisi jalan, cukup impresif (menurut ukuran Afrika). Namun, pada saat yang sama kita juga dengan segera dapat menangkap kondisi keterbelakangan: tidak ada sense of order! Masuk ke toko, kita juga dapat melihat bahwa jenis barang yang dijual memang sesuai dengan tingkat pendapatan per-kapita mereka yang masih rendah.

Seperti halnya di negara miskin lain, banyak program pemerintah diarahkan untuk pengurangan kemiskinan. Di Pantai Gading, hal ini dilakukan antara lain melalui suatu program yang mereka sebut sebagai "Social Funds" (SF), dimana pengusaha kecil diberi pinjaman ringan untuk membuka usaha, tapi persyaratan usulan tidak diterapkan terlalu ketat dan dengan administrasi yang sangat minim. Kira kira program SF mirip dengan gabungan konsep IDT dan KUK di Indonesia.

Bagaimana hasil SF? Tidak terlalu mengherankan: kurang mengenai sasaran! Contoh ekstrim, salah satu proyek yang penulis kunjungi menggunakan SF untuk kegiatan perdagangan. Tapi, anehnya dana tersebut dipakai untuk mengimpor keran mewah dari Itali, lalu dijual di Abijan, kota terbesar di Pantai Gading. Jelas bahwa komoditas tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan masyarakat miskin, dan penerima dana SF pun bukan tergolong miskin. Masih banyak kasus serupa yang kita temui dari proyek yang dibiayai oleh SF.

Contoh Ghana dan Pantai Gading di atas tergolong contoh "sukses" menurut ukuran Afrika. Dapat dibayangkan bagaimana keadaan di negara Afrika yang lain.

Peran bekas pemerintah kolonial juga tidak selalu positif. Sebagai contoh, dalam rangka program privatisasi, pemerintah Pantai Gading memutuskan untuk meprivatisasi sektor telekom mereka. Sesuai dengan saran lembaga internasional, proses privatisasi harus melalui penawaran terbuka. Hasilnya? Perusahaan telkom Malaysia pemenang pertama, diikuti oleh AT&T dari AS, lalu perusahaan dari Perancis nomor tiga. Dalam kenyataan, melalui "tekanan" pemerintah Perancis perusahaan nomor tiga yang dimenangkan.

Bagaimana dengan sektor pendidikan? Kondisi pendidikan di Afrika cukup menyedihkan. Sebagai ilustrasi, rasio anak usia sekolah SD yang benar benar sekolah (school enrollment ratio, atau SER) bukan hanya rendah tapi terus turun dalam dekade terakhir. Tahun 1980, SER rata-rata Afrika 80.8%, dan tahun 1993 hanya 72%. Melihat statistik SER seluruh dunia, termasuk negara berkembang, umumnya selalu ada peningkatan SER, tapi ternyata Afrika merupakan kekecualian. Data terakhir menunjukkan bahwa pada tahun 1995 masih sekitar 40 juta anak di Afrika yang tidak pernah sekolah.

Apa begitu penting pendidikan ini? Para akhli dapat memberi berbagai macam argumentasi tentang pentingnya unsur lain, tidak hanya pendidikan. Tapi, umumnya semua sepakat bahwa soal pendidikan tidak dapat ditawar lagi sebagai persyaratan bagi suatu masyarakat untuk maju. Sekedar sebagai ilustrasi, tahun 1960an (atau 35 tahun lalu), SER Jepang sudah 100%, dan pada akhir 1980an semua negara di Asia Pasifik sudah mencapai angka 100%. Hasilnya? East Asian Miracle, yang sebetulnya bukan miracle sama sekali. Di pihak lain, India mempunyai catatan prestasi kurang baik dari sudut SER. Masih sekitar 50% penduduk India tidak pernah menikmati pendidikan SD samasekali. Hasilnya? Bandingkan pertumbuhan ekonomi India dan Asia Pasifik.

Kembali ke Afrika, dengan tingkat pendidikan yang begitu rendah, banyak yang kemudian bertanya: apakah kebijakan liberalisasi perdagangan dan ekonomi dapat membantu mereka? Apa arti WTO, perdagangan bebas dan deregulasi bagi mereka? Bagaimana mungkin masyarakat yang 60% sampai 70% tidak pernah sekolah dapat ikut menikmati ataupun memberi kontribusi pada proses liberalisasi ekonomi? Suara dan pertanyaan semacam ini banyak anda dengar dari masyarakat berbagai lapisan di Afrika, termasuk dari para intelektual (mahasiswa, profesor dan peneliti).

Jadi bagaimana? Dari sudut mana saja, sulit mengharapkan perbaikan di Afrika kalau reformasi ekonomi (termasuk liberalisasi perdagangan, privatisasi dll) tidak dilakukan mereka. Namun, bagaimana mungkin dampak reformasi dinikmati sebagian besar masayarakat (yang masih miskin)? Umumnya, solusi yang diajukan, termasuk oleh Bank Dunia, adalah: lakukan reformasi secara selektif, dengan memilih jenis deregulasi yang akan cepat memberi manfaat masyarakat banyak. Artinya, ada kesadaran bahwa kalau program reformasi tidak memberi hasil cepat, dukungan dan partisipasi masyarakat terhadap program tersebut akan hilang, dan kalau hal itu sudah terjadi, secara politis akan susah bagi siapapun yang memerintah untuk melanjutkan program perbaikan.

Mencari sinisme masyarakat di Afrika terhadap program liberalisasi ekonomi, termasuk dari kaum intelektual, semudah mencari penduduk Afrika yang tidak bekerja (menganggur). Hampir di mana mana ada.

Selasa, 26 April 2011

Kerusakan Lingkungan Akan Berlanjut

Jakarta, Kompas - Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Indonesia menyatakan, kerusakan lingkungan dan konflik sumber daya alam akan terus berlanjut pada tahun 2011.

Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nurkholis meminta pemerintah meninjau keberadaan korporasi internasional tambang dan perkebunan sawit karena meningkatkan konflik sumber daya yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia.

Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Mukri Friatna menyatakan, kerusakan lingkungan dan konflik sumber daya alam akan meningkat karena pemerintah tidak menegakkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Walhi memperkirakan kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan akan meningkat 50-70 persen dibandingkan dengan 2010.

Dalam laporan Walhi berjudul Bisnis Ekologis-Merasa Benar di Jalan Sesat disebutkan, sepanjang 2010 terjadi 79 kasus pencemaran lingkungan yang mencemari 65 sungai di Indonesia. Pencemaran tersebut didominasi perkebunan kelapa sawit dan industri pertambangan.

Walhi menyatakan, 25 kasus pencemaran dilakukan industri pertambangan, sementara 22 kasus pencemaran dilakukan oleh perkebunan kelapa sawit.

Menurut Walhi, dari kasus tersebut, hanya 20 pencemar dan perusak yang diproses hukum. Dalam 14 kasus, terdakwa dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan. Sementara dalam satu kasus terdakwa dinyatakan terbukti bersalah tetapi divonis percobaan.

”Kami memperkirakan jumlah kasus pencemaran akan bertambah 50-70 persen pada tahun 2011,” kata Mukri dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (12/1).

Pada tahun 2010 terjadi 79 konflik sumber daya alam yang melibatkan pemodal, aparat keamanan pemerintah, dan rakyat setempat. ”Kami melihat aparat keamanan, khususnya polisi, cenderung lebih berpihak kepada pemodal daripada mengayomi rakyat yang memperjuangkan haknya. Sepanjang 2010, tiga warga tewas dalam berbagai konflik sumber daya alam,” kata Mukri.

Ia memperkirakan pada 2011 konflik sumber daya alam, khususnya masalah sengketa tanah di wilayah konsesi pertambangan atau perkebunan sawit, akan meningkat.

Korporasi asing

Nurkholis meminta pemerintah meninjau ulang keberadaan korporasi tambang dan perkebunan kelapa sawit asing di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan korporasi asing memiliki modal besar dan mampu melakukan aktivitas dalam skala besar.

Aktivitas pertambangan dan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar memiliki luasan dan cakupan dampak yang lebih luas, terutama melanggar hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negara. ”Pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya cenderung diikuti dengan konflik,” kata Nurkholis. (ROW)

Pemerintah belum Dukung Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas

Minggu, 25 Juli 2010

Penulis : Ririn Radiawati Kusumua


JAKARTA--Media Indonesia:Pemerintah dinilai belum melakukan dukungan untuk mencapai visi pertumbuhan berkualitas. Hal ini ditunjukkan dengan pembangunan infrastruktur baik untuk energi maupun pembangunan fisik.

Hal tersebut diungkapkan oleh pengamat ekonomi dari UGM Sri Adiningsih. Dia berpendapat bahwa selama ini pemerintah hanya menjalankan visi dan misi secara teoritis namun tidak melakukannya secara nyata.


"Kalau untuk visi dan misi, pemerintah itu bagus. Tapi kenyataannya tidak ada. Buktinya kita tidak bisa bersaing sevara internasional," ujar dia saat dihubungi Media Indonesia, Minggu (25/7).

Dia mengungkapkan, selama ini, pertumbuhan berkualitas masih terhalang oleh pembangunan infrastruktur yang belum pesat. Pembangunan infrastruktur yang lambat ini menyebabkan pihak industri tidak berkembang secara maksimal.

Dia mengungkapkan,terdapat beberapa hal yang menghalangi sektor industri untuk berkembang. Yaitu infrastruktur dari sisi transportasi yang masih buruk dan listrik yang masih mahal untuk industri.

Padahal, lanjutnya, kedua hal tersebut penting untuk sektor industri dan bisa membantu pemerintah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas (pro growth).

Dia menyarankan, pemerintah seharusnya fokus kepada permbangunan infrastruktur. "Dengan anggaran Rp 1000 triliun untuk belanja, pemerintah seharusnya lebih fleksibel untuk membelanjakannya di sektor infrastruktur," kata dia.

Namun, pemerintah selama ini hanya gencar untuk mewacanakan program-programya. Infrastruktur Summit dan program KPS masih belum terbukti bisa menggenjot inrastruktur nusantara.

Dia menyarankan, pemerintah seharusnya bisa menjadi andalan dalam pembangunan. Pihak swasta, kata dia, dalam hal ini hanya sebagai pendukung saja. "Memang pada ujungnya pemerintah yang menjadi tumpuan. Pemerintah harus memprioritaskan pembangunan infrastruktur dalam APBN nya," pungkas dia. (Rrn/OL-3)

Ekonomi RI Masuki Pertumbuhan Emas

Editor: Erlangga Djumena

Jumat, 25 Februari 2011

JAKARTA, KOMPAS.com — Tahun 2010 menjadi awal bagi kebangkitan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi akan terus membaik sampai enam tahun mendatang. Selama periode tersebut, ekonomi Indonesia akan memasuki pertumbuhan emas karena membaiknya harga komoditas serta meningkatnya daya beli masyarakat.

Demikian disampaikan Ketua Komite Ekonomi Nasional Chairul Tanjung dalam acara perbincangan tinjauan ekonomi 2011, Rabu (23/2/2011) malam di Jakarta. ”Saya yakin ekonomi Indonesia akan terus membaik sampai tahun 2015 mendatang,” katanya.

Menurut dia, ada beberapa indikasi yang mendukung keyakinannya tersebut. Pertama, semakin banyak aliran dana yang masuk ke Indonesia baik melalui saham, pembelian surat utang, serta investasi langsung ke sektor riil. Aliran dana tersebut berasal dari negara-negara maju yang saat ini masih dilanda kelesuan ekonomi. Tahun 2011, Amerika Serikat berencana mengeluarkan surat utang senilai 600 miliar dollar AS. Dana tersebut diperkirakan banyak mengalir ke Indonesia.

”Memang harus diwaspadai aliran hot money tersebut. Tahun 2010 hanya 16 persen dana masuk yang sifatnya investasi langsung. Selebihnya itu masih hot money,” ujarnya.

Faktor kedua adalah pemulihan ekonomi global dengan ditandai membaiknya harga komoditas dan harga sumber daya alam lainnya. ”Komoditas mengalami kenaikan harga, demikian juga dengan sektor mining. Peningkatan harga tersebut membuat pasokan uang bertambah. Akibatnya daya beli masyarakat pun ikut naik,” paparnya.

Pertumbuhan daya beli, lanjutnya, akan berdampak positif bagi industri pariwisata, otomotif, ritel, dan jasa keuangan. Konsumsi masyarakat akan beralih ke barang-barang mewah, terutama di sektor otomotif. ”Indikasi tersebut terlihat dari meningkatnya volume penjualan mobil. Tahun 2010 tercatat 763.751 unit mobil terjual. Januari tahun ini angkanya bahkan meningkat 40 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu,” katanya.

Chairul mengatakan, pertumbuhan ekonomi gemilang juga bakal diraih sektor properti. Pasalnya, dari total kebutuhan rumah sebanyak 9 juta unit, baru bisa terpenuhi 200.000-300.000 unit per tahun.

Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Kebijakan Fiskal dan Moneter Hariadi Sukamdani mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia sifatnya tak merata. Peningkatan daya beli hanya terpusat pada orang-orang kaya.

”Saat ini hanya pengusaha minyak, batu bara, dan sawit yang menikmati situasi perekonomian saat ini. Di luar itu, daya beli masyarakat makin melemah,” katanya. (ENY)

Pertumbuhan Ekonomi Spasial di Indonesia Tahun 2005-2010.


Besaran dan disparitas PDRB

Berdasarkan besaran PDRB di Indonesia, terlihat bahwa sejak tahun 2005-2010 ada 9 Provinsi yang mempunyai besaran PDRB secara rata-rata di atas 100 trilyun rupiah. Provinsi-provinsi tersebut adalah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Riau, Sumatera Utara, Banten dan Sumatera Selatan.

Berdasarkan sektoral ke sembilan provinsi tersebut, DKI Jakarta didominasi oleh sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran disamping sektor Industri dan Jasa Pemerintahan; sedangkan provinsi Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah didominasi oleh sektor pertanian terutama bahan makanan, sektor Industri dan sektor Perdagangan, hotel dan Restoran kelebihan ini didukung oleh sistem irigasi yang sudah lebih baik disamping akses transportasi baik kondisi jalan, pelabuhan maupun bandara yang mendukung. Provinsi Kalimantan Timur mempunyai potensi pertambangan baik migas maupun non migas seperti minyak, LNG dan batu bara disamping industri pengolahan minyak dan gas bumi. Provinsi Sumatera Utara sebagai salah satu pusat pertumbuhan di Sumatera mempunyai potensi pertanian khususnya sub sektor perkebunan dan tanaman bahan makanan disamping potensi perdagangan, hotel dan restoran.

Besaran nilai PDRB kurang dari 10 trilyun sepanjang tahun 2005-2010 terjadi di empat provinsi yaitu: Sulawesi Barat, Maluku, Gorontalo dan Maluku Utara.

Berdasarkan masterplan dari arah yang ditetapkan dalam UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, pemerintah saat ini sedang mengarahkan pembangunan ke enam koridor ekonomi.

Keenam koridor ekonomi tersebut adalah pertama, Koridor Ekonomi 1:Sumatra sebagai pusat sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional. Kedua, Koridor Ekonomi 2: Jawa sebagai pendorong industri dan jasa Nasional. Ketiga, koridor ekonomi 3: Kalimantan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional.

Selanjutnya keempat, koridor ekonomi 4:Sulawesi-Maluku Utara sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan nasional, kelima,koridor ekonomi 5: Bali-Nusa Tenggara sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional, serta keenam, koridor ekonomi 6: Papua-Maluku sebagai pengolahan sumber daya alam yang melimpah dan SDM yang sejahtera.

Peranan Koridor Perekonomian

Ditinjau dari sudut spasial, maka perekonomian Indonesia masih didukung sebagian besar di koridor Jawa dan koridor Sumatera yang berperan sekitar 67,74 persen. Koridor Kalimantan berperan 8,08 persen, Sulawesi-Maluku Utara berperan 3,58 persen; koridor Bali-Nusa Tenggara sekitar 2,23 persen dan koridor Papua-Maluku berperan sekitar 1,70 persen.

Pertumbuhan Ekonomi 2005-2010

Selama tahun 2005-2010, pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi bervariasi antara -3,17 persen hingga 10 persen. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi di Papua Barat (10 persen), diikuti Sulawesi Tenggara (8,55 persen), Banten dan Sulawesi Barat (8,44 persen) serta Sulawesi Tengah (8,11 persen). Sedangkan pertumbuhan ekonomi terendah terjadi di Aceh (-3,17 persen) dan Kalimantan Timur (3,30 persen).

Pertumbuhan di Papua Barat, Aceh dan Kalimantan Timur lebih didominasi oleh sektor Pertambangan migas dan non migas, sehingga fluktuasi setiap tahun tergantung dari kemampuan eksploitasi dan eksplorasi dari Sumber Daya Alam. Sedangkan untuk provinsi Banten dan Sulawesi Barat disamping potensi perkebunan juga disebabkan pesatnya pembangunan konstruksi sebagai dampak wilayah pemekaran wilayah.

Secara spasial pertumbuhan ekonomi 2005-2010 tertinggi terdapat di Koridor ekonomi 4: Sulawesi-Maluku Utara yang tumbuh rata-rata 7,36 persen per tahun, diikuti oleh koridor ekonomi 6:Papua-Maluku yang tumbuh rata-rata 7,16 persen per tahun. Selanjutnya koridor ekonomi 2: Jawa yang tumbuh rata-rata 5,97 persen per tahun. Koridor ekonomi 5:Bali-Nusa tenggara mampu tumbuh rata-rata 5,57 persen per tahun.

Koridor ekonomi 1:Sumatera hanya mampu tumbuh rata-rata 4,63 persen per tahun selama tahun 2005-2010 dan terendah adalah koridor ekonomi 3:Kalimantan dimana hanya mampu tumbuh sekitar 4,17 persen per tahun.

Proyeksi pertumbuhan Koridor Ekonomi

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi Nasional 7 persen di tahun 2012, maka selama dua tahun kedepan koridor ekonomi 1: Sumatera diharapkan tumbuh rata-rata 6,2 persen per tahun didukung kerjasama ekonomi Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) dengan sentra produksi pertanian (khususnya perkebunan sawit dan karet), pertambangan migas di provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau, serta sentra industry pengolahan terutama di provinsi Sumatera Utara dan Sumatera bagian Selatan. Sedangkan koridor ekonomi 2:Jawa diharapkan dapat tetap tumbuh tinggi yaitu sekitar 7,1 persen per tahun, sebagaimana kondisi saat ini masih menjadi sentra industri pengolahan disamping perdagangan, hotel dan Restoran.

Koridor ekonomi 3:Kalimantan selama dua tahun kedepan diharapkan dapat tumbuh sekitar 6,2 persen per tahun dengan dukungan Brunei-Indonesia-Malaysia-Phillipina East Asia Growth Area (BIMP-EAGA) dengan potensi sektor pertanian (perkebunan sawit, karet dan kehutanan), serta sektor pertambangan Migas dan Non Migas di wilayah Timur Kalimantan. Koridor ekonomi 4:Sulawesi-Maluku Utara, diharapkan dapat memacu pertumbuhan selama dua tahun kedepan sekitar 8,9 persen per tahun agar dapat menyusul ketertinggalan dibandingkan koridor Jawa dan Sumatera dengan potensi di sektor pertanian (perkebunan kakao, kelapa dan perikanan, peternakan).

Koridor ekonomi 5:Bali-Nusa Tenggara pada dua tahun kedepan diharapkan dapat tumbuh minimal sekitar 6,6% per tahun dengan potensi pariwisata serta pertambangan. Sedangkan koridor ekonomi 6: Papua-Maluku diharapkan selama dua tahun kedepan dapat tumbuh sebesar 3,5% per tahun dengan sektor pertambangan dan penggalian sebagai potensi utamanya.